Cyberlaw
LATAR BELAKANG CYBER LAW
Cyber law terbilang melekat dengan dunia kejahatan. Hal ini juga
didukung oleh globalisasi. Zaman terus berubah-ubah dan manusia
mengikuti perubahan zaman itu. Perubahan itu diikuti oleh dampak
positif dan dampak negatif. Ada dua unsur terpenting dalam globalisasi.
Pertama, dengan globalisasi manusia dipengaruhi dan kedua, dengan
globalisasi manusia mempengaruhi (jadi dipengaruhi atau mempengaruhi).
2.2 Pengertian Cyberlaw
Cyberlaw
merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi setiap aspek yang
berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang menggunakan dan
memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai online dan
memasuki dunia cyber atau maya.
A.
Tujuan
Cyber Law
Cyberlaw sangat
dibutuhkan, kaitannya dengan upaya pencegahan tindak pidana, ataupun penanganan
tindak pidana. Cyber law akan menjadi dasar hukum dalam proses penegakan
hukum terhadap kejahatan-kejahatan dengan sarana elektronik dan komputer,
termasuk kejahatan pencucian uang dan kejahatan terorisme.
B. Ruang Lingkup Cyber Law
Pembahasan mengenai ruang
lingkup ”cyber law” dimaksudkan sebagai inventarisasi atas persoalan-persoalan
atau aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan dengan pemanfaatan Internet.
Secara garis besar ruang lingkup ”cyber law” ini berkaitan dengan
persoalan-persoalan atau aspek hukum dari:
- E-Commerce,
- Trademark/Domain Names,
- Privacy and Security on the Internet,
- Copyright,
- Defamation,
- Content Regulation,
- Disptle Settlement, dan sebagainya.
C.
Topik-topik
Cyber Law
Secara garis
besar ada lima topic dari cyberlaw di setiap negara yaitu:
- Information security, menyangkut masalah keotentikan pengirim atau penerima dan integritas dari pesan yang mengalir melalui internet. Dalam hal ini diatur masalah kerahasiaan dan keabsahan tanda tangan elektronik.
- On-line transaction, meliputi penawaran, jual-beli, pembayaran sampai pengiriman barang melalui internet.
- Right in electronic information, soal hak cipta dan hak-hak yang muncul bagi pengguna maupun penyedia content.
- Regulation information content, sejauh mana perangkat hukum mengatur content yang dialirkan melalui internet.
- Regulation on-line contact, tata karma dalam berkomunikasi dan berbisnis melalui internet termasuk perpajakan, retriksi eksport-import, kriminalitas dan yurisdiksi hukum.
D.
Komponen-komponen
Cyberlaw
- Pertama, tentang yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen ini menganalisa dan menentukan keberlakuan hukum yang berlaku dan diterapkan di dalam dunia maya itu;
- Kedua, tentang landasan penggunaan internet sebagai sarana untuk melakukan kebebasan berpendapat yang berhubungan dengan tanggung jawab pihak yang menyampaikan, aspek accountability, tangung jawab dalam memberikan jasa online dan penyedia jasa internet (internet provider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa pendidikan melalui jaringan internet;
- Ketiga, tentang aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentang patent, merek dagang rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber;
- Keempat, tentang aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukum yang
berlaku di masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yang
mempergunakan atau memanfaatkan dunia maya sebagai bagian dari
sistem atau mekanisme jasa yang mereka lakukan; - Kelima, tentang aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiap pengguna internet;
- Keenam, tentang ketentuan hukum yang memformulasikan aspek kepemilikan dalam internet sebagai bagian dari nilai investasi yang dapat dihitung sesuai dengan prinisip-prinsip keuangan atau akuntansi;
- Ketujuh, tentang aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internet
sebagai bagian dari perdagangan atau bisnis usaha.
E.
Asas-asas
Cyber Law
Dalam kaitannya
dengan penentuan hukum yang berlaku dikenal beberapa asas yang biasa digunakan,
yaitu :
- Subjective territoriality, yang menekankan bahwa keberlakuan hukum ditentukan berdasarkan tempat perbuatan dilakukan dan penyelesaian tindak pidananya dilakukan di negara lain.
- Objective territoriality, yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum dimana akibat utama perbuatan itu terjadi dan memberikan dampak yang sangat merugikan bagi negara yang bersangkutan.
- nationality yang menentukan bahwa negara mempunyai jurisdiksi untuk menentukan hukum berdasarkan kewarganegaraan pelaku.
- passive nationality yang menekankan jurisdiksi berdasarkan kewarganegaraan korban.
- protective principle yang menyatakan berlakunya hukum didasarkan atas keinginan negara untuk melindungi kepentingan negara dari kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, yang umumnya digunakan apabila korban adalah negara atau pemerintah,
- Universality. Asas ini selayaknya memperoleh perhatian khusus terkait dengan
penanganan hukum kasus-kasus cyber. Asas ini disebut juga sebagai “universal
interest jurisdiction”. Pada mulanya asas ini menentukan bahwa setiap
negara berhak untuk menangkap dan menghukum para pelaku pembajakan. Asas
ini kemudian diperluas sehingga mencakup pula kejahatan terhadap
kemanusiaan (crimes against
humanity), misalnya penyiksaan, genosida, pembajakan udara dan lain-lain. Meskipun di masa mendatang asas jurisdiksi universal ini mungkin dikembangkan untuk internet piracy, seperti computer, cracking, carding, hacking and viruses, namun perlu dipertimbangkan bahwa penggunaan asas ini hanya diberlakukan untuk kejahatan sangat serius berdasarkan perkembangan dalam hukum internasional.
Oleh karena itu, untuk ruang cyber dibutuhkan suatu hukum baru yang menggunakan pendekatan yang berbeda dengan hukum yang dibuat berdasarkan batas-batas wilayah. Ruang cyber dapat diibaratkan sebagai suatu tempat yang hanya dibatasi oleh screens and passwords. Secara radikal, ruang cyber telah mengubah hubungan antara legally significant (online) phenomena and physical location.
F.
Teori-teori
cyberlaw
Berdasarkan
karakteristik khusus yang terdapat dalam ruang cyber maka dapat dikemukakan
beberapa teori sebagai berikut :
- The Theory of the Uploader and the Downloader, Berdasarkan teori ini, suatu negara dapat melarang dalam wilayahnya, kegiatan uploading dan downloading yang diperkirakan dapat bertentangan dengan kepentingannya. Misalnya, suatu negara dapat melarang setiap orang untuk uploading kegiatan perjudian atau kegiatan perusakan lainnya dalam wilayah negara, dan melarang setiap orang dalam wilayahnya untuk downloading kegiatan perjudian tersebut. Minnesota adalah salah satu negara bagian pertama yang menggunakan jurisdiksi ini.
- The Theory of Law of the Server. Pendekatan ini memperlakukan server dimana
webpages secara fisik berlokasi, yaitu di mana mereka dicatat sebagai data
elektronik. Menurut teori ini sebuah webpages yang berlokasi di server
pada Stanford University tunduk pada hukum California. Namun teori ini
akan sulit digunakan
apabila uploader berada dalam jurisdiksi asing. - The Theory of InternationalSpaces. Ruang cyber dianggap sebagai the fourth space. Yang menjadi analogi adalah tidak terletak pada kesamaan fisik, melainkan pada sifat internasional, yakni sovereignless quality.
2.3 CYBERLAW DI INDONESIA
Sejak satu dekade
terakhir Indonesia cukup serius menangani berbagai kasus terkait Cybercrime.
Menyusun berbagai rancangan peraturan dan perundang-undangan yang mengatur
aktivitas user di dunia maya. Dengan peran aktif pemerintah seperti itu, dapat
dikatakan Cyberlaw telah mulai diterapkan dengan baik di Indonesia.
Berikut ini adalah
beberapa kategori kasus Cybercrime yang telah ditangani dalam UU Informasi dan
Transaksi Elektronik (Pasal 27 sampai dengan Pasal 35) :
27.
Illegal Contents
muatan yang melanggar kesusilaan
(Pornograph) muatan perjudian ( Computer-related betting) muatan penghinaan dan
pencemaran nama baik muatan pemerasan dan ancaman (Extortion and Threats)
28.
Illegal Contents
berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. (Service Offered
fraud) informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan (SARA).
29. Illegal Contents
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan
secara pribadi.
30. Illegal Access
Dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik milik Orang lain
dengan cara apa pun.
Dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan tujuan untuk memperoleh Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik.
Dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum mengakses Komputer dan/atau Sistem Elektronik dengan cara apa pun
dengan melanggar, menerobos, melampaui, atau menjebol sistem pengamanan.
31.
Illegal Interception
Intersepsi atau penyadapan atas
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dalam suatu Komputer dan/atau
Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain.
Intersepsi atas transmisi Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak bersifat publik dari, ke, dan
di dalam suatu Komputer dan/atau Sistem Elektronik tertentu milik Orang lain,
baik yang tidak menyebabkan perubahan apa pun maupun yang menyebabkan adanya
perubahan, penghilangan, dan/atau penghentian Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang sedang ditransmisikan.
32. Data Leakage and
Espionag
Mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik Orang lain atau milik
publik.
33. System Interferenc
Melakukan tindakan apa pun yang
berakibat terganggunya Sistem Elektronik dan/atau mengakibatkan Sistem
Elektronik menjadi tidak bekerja sebagaimana mestinya.
34. Misuse Of Device
Memproduksi, menjual, mengadakan untuk
digunakan, mengimpor, mendistribusikan, menyediakan, atau memiliki: perangkat
keras atau perangkat lunak Komputer yang dirancang atau secara khusus
dikembangkan untuk memfasilitasi cybercrime, sandi lewat Komputer, Kode Akses,
atau hal yang sejenis dengan itu yang ditujukan agar Sistem Elektronik menjadi
dapat diakses dengan tujuan memfasilitasi cybercrime.
35. Data Interferenc
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa
hak atau melawan hukum melakukan manipulasi, penciptaan, perubahan,
penghilangan, pengrusakan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik
dengan tujuan agar Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik tersebut
dianggap seolah-olah data yang otentik.
Berikut ini Table Pelanggaran Di Dunia
Maya (Cybercrime) dan Hukuman yang diambil dari UU Informasi dan Transaksi
Elektronik Indonesia :
Tabel di atas hanya menangkap
pelanggaran sampai dengan pasal 35, sedangkan dua pasal berikutnya (36 dan 37)
sengaja tidak ditampilkan karena merupakan pasal tersebut membahas tentang
pelanggaran turunan dari pasal-pasal sebelumnya.
1.
Cyberlaw tidak akan berhasil jika aspek yurisdiksi hukum diabaikan. Karena
pemetaan yang mengatur cyberspace menyangkut juga hubungan antar kawasan, antar
wilayah, dan antar negara, sehingga penetapan yuridiksi yang jelas mutlak
diperlukan. Ada tiga yurisdiksi yang dapat diterapkan dalam dunia cyber.
Pertama, yurisdiksi legislatif di bidang pengaturan, kedua, yurisdiksi
judicial, yakni kewenangan negara untuk mengadili atau menerapkan kewenangan
hukumnya, ketiga, yurisdiksi eksekutif untuk melaksanakan aturan yang
dibuatnya.
2.
Cyberlaw bukan saja keharusan, melainkan sudah merupakan kebutuhan untuk
menghadapi kenyataan yang ada sekarang ini, yaitu dengan banyaknya berlangsung
kegiatan cybercrime. Untuk membangun pijakan hukum yang kuat dalam mengatur
masalah masalah hukum di ruang cyber diperlukan komitmen kuat dari pemerintah
dan DPR.
2.1. Pasal dalam Undang-undang ITE
Pada awalnya kebutuhan akan Cyber Law di Indonesia
berangkat dari mulai banyaknya ransaksi-transaksi perdagangan yang terjadi
lewat dunia maya. Atas transaksi-transaksi tersebut, sudah sewajarnya konsumen,
terutama konsumen akhir (end-user) diberikan perlindungan hukum yang
kuat agar tidak dirugikan, mengingat transaksi perdagangan yang dilakukan di
dunia maya sangat rawan penipuan.
Dan dalam perkembangannya, UU ITE yang rancangannya sudah
masuk dalam agenda DPR sejak hampir sepuluh tahun yang lalu, terus mengalami
penambahan disana-sini, termasuk perlindungan dari serangan hacker,
pelarangan penayangan content yang memuat unsur-unsur pornografi,
pelanggaran kesusilaan, pencemaran nama baik, penghinaan dan lain sebagainya.
Terdapat sekitar 11 pasal yang mengatur tentang
perbuatan-perbuatan yang dilarang dalam UU ITE, yang mencakup hampir 22 jenis
perbuatan yang dilarang. Dari 11 Pasal tersebut ada 3 pasal yang dicurigai akan
membahayakan blogger, pasal-pasal yang mengatur larangan-larangan tertentu di
dunia maya, yang bisa saja dilakukan oleh seorang blogger tanpa dia sadari.
Pasal-Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (1) dan (3), Pasal 28 ayat (2), serta
Pasal 45 ayat (1) dan (2)
Pasal 27 ayat (1)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Pasal 27 ayat (3)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Pasal 28 ayat (2)
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Atas pelanggaran pasal-pasal tersebut, UU ITE memberikan
sanksi yang cukup berat sebagaimana di atur dalam Pasal 45 ayat (1) dan (2).
Pasal 45 ayat (1)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 45 ayat (2)
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Melihat
ancaman sanksi yang diberikan, jelas kita tidak bisa anggap sepele pasal-pasal
tersebut di atas.
Pelanggaran
Norma Kesusilaan
Larangan content yang memiliki muatan yang melanggar
kesusilaan sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) idealnya mempunyai tujuan
yang sangat mulia. Pasal ini berusaha mencegah munculnya situs-situs porno dan
merupakan dasar hukum yang kuat bagi pihak berwenang untuk melakukan tindakan
pemblokiran atas situs-situs tersebut.
Namun demikian, tidak
adanya definisi yang tegas mengenai apa yang dimaksud melanggar kesusilaan,
maka pasal ini dikhawatirkan akan menjadi pasal karet.
Bisa jadi, suatu blog yang tujuannya memberikan konsultasi
seks dan kesehatan akan terkena dampak keberlakuan pasal ini. Pasal ini juga
bisa menjadi bumerang bagi blog-blog yang memuat kisah-kisah perselingkuhan,
percintaan atau yang berisi fiksi macam novel Saman, yang isinya buat kalangan
tertentu bisa masuk dalam kategori vulgar, sehingga bisa dianggap
melanggar norma-norma kesusilaan.
Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik
Larangan
content yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) ini sebenarnya adalah
berusaha untuk memberikan perlindungan atas hak-hak individu maupun institusi,
dimana penggunaan setiap informasi melalui media yang menyangkut data pribadi
seseorang atau institusi harus dilakukan atas persetujuan orang/institusi yang bersangkutan.
Bila seseorang menyebarluaskan suatu data pribadi seseorang
melalui media internet, dalam hal ini blog, tanpa seijin orang yang
bersangkutan, dan bahkan menimbulkan dampak negatif bagi orang yang
bersangkutan, maka selain pertanggungjawaban perdata (ganti kerugian)
sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU ITE, UU ITE juga akan menjerat dan
memberikan sanksi pidana bagi pelakunya.
Dalam penerapannya, Pasal 27 ayat (3) ini
dikhawatirkan akan menjadi pasal sapu jagat atau pasal karet.
Hampir dipastikan terhadap blog-blog yang isinya misalnya: mengeluhkan
pelayanan dari suatu institusi pemerintah/swasta, atau menuliskan efek negatif
atas produk yang dibeli oleh seorang blogger, blog yang isinya
kritikan-kritikan atas kebijakan pemerintah, blogger yang menuduh
seorang pejabat telah melakukan tindakan korupsi atau tindakan kriminal
lainnya, bisa terkena dampak dari Pasal 27 ayat (3) ini.
Pasal
Pencemaran Nama Baik
Selain pasal pidana pencemaran nama baik dalam UU ITE
tersebut di atas, Kitab-Kitab Undang Hukum Pidana juga mengatur tentang tindak
pidana penghinaan dan pencemaran nama baik. Pasal-pasal pidana mengenai
penghinaan dan pencemaran nama baik ini memang sudah lama menjadi momok dalam
dunia hukum. Pasal-pasal tersebut antara lain Pasal 310 dan 311 KUHP.
Pasal
310 KUHP :
“(1)
Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduhkan sesuatu hal yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui
umum diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama 9 bulan……..”
“(2)
Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambar yang disiarkan, dipertunjukan
atau ditempelkan dimuka umum,maka diancam karena pencemaran tertulis dengan
pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan…”
“(3)
Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan jelas
dilakukan demi kepentingan umum atau terpaksa untuk membela diri.”
Pasal 311 KUHP:
“(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bettentangan dengan apa yang diketahui, maka da diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
“(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran tertulis, dalam hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak membuktikannya dan tuduhan dilakukan bettentangan dengan apa yang diketahui, maka da diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.”
Pasal-pasal tersebut di atas walaupun bertujuan baik, namun
dikhawatirkan dapat menjadi pisau bermata dua, karena disisi lain bisa
membahayakan pilar-pilar demokrasi, dimana azas demokrasi menjunjung tinggi
kebebasan menyatakan pendapat dan pikiran serta kebebasan untuk memperoleh
informasi.
Sebagaimana penulis pernah ungkapkan pada tulisan sebelumnya
bahwa pada sebagian besar negara-negara penganut demokrasi, macam Amerika,
Meksiko, pasal-pasal pidana mengenai pencemaran nama baik telah dihilangkan dan
cukup dimasukkan dalam ranah perdata, yang artinya, apabila seseorang merasa
telah dicemarkan namanya, maka yang bersangkutan diberikan hak untuk meminta
ganti kerugian kepada pihak yang telah mencemarkan namanya.
Di Indonesia sendiri atas pasal-pasal pidana tentang
pencemaran nama di dalam KUHP telah diajukan hak uji materiil (judicial
review) ke mahkamah konstitusi. Sayangnya usaha ini tidak membawa hasil,
permohonan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
(Note:
judicial review adalah hak mahkamah konstitusi berdasarkan permohonan
pihak-pihak terkait untuk menguji apakah suatu undang-undang telah melanggar
konstitusi atau tidak, sehingga bisa berakibat pembatalan atas keberlakuan isi
undang-undang tersebut).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar